Dunia pendidikan terus bergerak, berubah seiring waktu, menyesuaikan diri dengan generasi yang tumbuh di dalamnya. Kita kini hidup di era multi-generasi di mana para santri terlahir dari latar belakang yang berbeda, usia yang beragam, dan cara berpikir yang unik, hadir bersama di ruang belajar yang sama. Di tengah perubahan itu, satu hal menjadi tantangan sekaligus peluang yaitu gaya belajar.
Hari ini kita berada pada Multi-Generasi dalam Pendidikan. Generasi Z dan Alpha, yang kini mendominasi ruang kelas, tidak bisa dipisahkan dari kecepatan dan visualisasi. Mereka tumbuh dalam dunia serba digital, yang menyuguhkan informasi dalam hitungan detik dan hiburan dalam bentuk yang serba instan. Maka, bukan hal aneh jika pola belajar mereka pun berubah. Mereka tidak lagi sekadar menghafal, tetapi ingin memahami. Mereka tidak cukup hanya mendengar, tetapi ingin terlibat.
Perbedaan gaya belajar bukan masalah. Justru disitulah peluangnya. Anak-anak hari ini bukan malas, tapi mereka butuh pendekatan yang relevan. Mereka terbiasa mengakses informasi dengan cepat, lebih menyukai pembelajaran yang terlibat, kontekstual, dan bermakna. Sementara itu, dewan guru yang lahir di era sebelumnya memiliki kekayaan pengalaman, kedalaman berpikir, dan nilai disiplin tinggi yang harus dimilliki oleh generasi saat ini. Maka bukan salah satu yang harus dikorbankan, namun perlu adanya jembatan penghubung antar generasi.
Lalu bagaimana dengan dunia pesantren yang secara tradisional menjauhkan santri dari perangkat digital seperti handphone dan internet? Apakah dunia yang sunyi dari teknologi itu masih mampu mengikuti irama zaman? Pertanyaan itu barangkali sering muncul, apalagi di tengah diskusi tentang pendidikan modern. Namun jawaban yang muncul tidak selalu harus pesimis. Justru di sinilah letak istimewanya. Pesantren, yang selama ini dianggap konvensional, sebenarnya menyimpan potensi besar untuk menghadirkan transformasi pendidikan yang tidak bergantung pada teknologi, tapi tetap relevan dengan semangat zaman.
Gaya belajar santri bisa saja tidak terhubung langsung dengan internet, tapi bukan berarti mereka tidak bisa kritis. Mereka mungkin tidak memegang gawai (HP), tapi bukan berarti mereka tak bisa kreatif. Yang perlu diubah bukan alatnya, tapi pendekatannya. Hari ini, para pendidik di penjuru pesantren memiliki tanggung jawab lebih besar. Bukan hanya menyampaikan ilmu, tetapi juga menumbuhkan cara berpikir. Bukan hanya mentransfer pengetahuan, tetapi juga membangun karakter. Tantangan utama bukan sekadar bagaimana menyampaikan materi, namun bagaimana membuat santri merasa belajar itu bermakna.
Transformasi ini bukan tentang mengganti kitab kuning dengan video animasi. Bukan pula mengganti musyawarah dengan aplikasi diskusi daring. Tapi tentang bagaimana santri tetap bisa tumbuh sebagai individu yang peka terhadap zamannya, tanpa kehilangan identitas sebagai pribadi yang tangguh, rendah hati, dan yang terpenting berakhlaqul karimah.
Pesantren tidak boleh tertinggal dalam gerbong perubahan. Bukan berarti harus mengikuti semua trend, tetapi harus mampu menyaring, menyesuaikan, dan mengambil yang terbaik dari zaman, untuk bekal para santri di masa depan. Karena cepat atau lambat, mereka akan kembali ke masyarakat yang tak bisa dipisahkan dari dunia digital. Dan ketika saat itu tiba, santri harus menjadi pribadi yang siap mampu beradaptasi, berpikir jernih, dan membawa nilai dari dunia pesantren ke tengah hiruk-pikuk modernitas.
Transformasi gaya belajar di era multi-generasi bukan sekadar tantangan bagi dunia pesantren. Namun sebagai peluang untuk menunjukkan bahwa dunia pendidikan Islam punya cara tersendiri untuk tumbuh, dengan tidak gegabah dalam mengikuti zaman, tapi juga tidak diam menonton perubahan. Karena sejatinya, nilai-nilai pesantren tidak pernah usang. Yang perlu berubah hanyalah caranya menyapa generasi baru, dengan pendekatan yang lebih manusiawi, lebih reflektif, dan lebih menyentuh kebutuhan zaman. (Nis)
Sumber :
Susanti, A. I. (2024). Dampak Positif dan Negatif Digitalisasi Pendidikan.
Rahmayanti, I. (2024). PESANTREN TANGGUH: Belajar dan Beradaptasi di Tengah Pandemi. Penerbit NEM.
Subiyantoro, H. (2023). Mengembangkan Family And Community Education Melalui Pendidikan di Sekolah Madrasah yang Humanis-Religius Integralistik di Era Digital Pidato Pengukuhan bidang Ilmu Pendidikan.
Saini, M. (2024). Pesantren dalam Era Digital: Antara Tradisi dan Transformasi. Tasamuh: Jurnal Studi Islam, 16(2), 342-356.